1. ARTIKEL ILMIAH

CONSTITUTIONAL COMPLAINT SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSI WARGA NEGARA MELALUI MAHKAMAH KONSTITUSI

Disusun Oleh :

Dian Arifa Fatimah (13.0201.0008)

Wahyu Haji Bani N (13.0201.0007)

Dasep Nurjaman ( 14.0201.0011)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2015

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum secara tegas dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 1 ayat 3. Menurut pemikiran salah satu tokoh penting dalam revolusi Jerman yaitu Friedrich Julius Stahl, salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum adalah pemenuhan akan hak–hak dasar manusia (basic rights/fundamental rights). Seiring dengan berjalannya waktu, pemenuhan hak–hak dasar manusia di Negara Indonesia  semakin berkembang menuju arah yang lebih baik terutama pada masa reformasi, di masa tersebut hak kebebasan setiap individu untuk mengutarakan pendapatnya di lindungi oleh undang-undang.

Penulis sangat tertarik pada isu constitutional complaint yang kini tengah banyak diperbincangkan oleh para praktisi hukum sebagai salah satu alternatif dalam perwujudan kebebasan setiap individu,. Walaupun constitutional complaint belum populer di lingkungan masyarakat akan tetapi kita perlu menyadari mengenai bertambah kuatnya kesadaran masyarakat mengenai hak konstitutional yang mereka miliki.

Upaya hukum untuk melindungi warga negara atau hak konstitusi dari pelanggaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah maupun putusan pemerintah dapat dilakukan dengan constitutional complaint. Banyak negara telah mencetuskan secara normatif constitutional complaint sebagai wadah hukum penyelesaian pelanggaran hak setiap individu oleh peraturan pemerintah. Aturan tersebut diatur secara jelas dan rinci dalam undang-undang serta diberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi mereka. Salah satu contoh negara yang telah menerapkan constitutional complaint secara komprehensif adalah Jerman.

Contoh kasus constitutional complaint yang cukup terkenal di Jerman yaitu mengenai tuntutan soal larangan penyembelihan hewan karena dinilai bertentangan dengan undang-undang tentang perlindungan hewan. Masyarakat muslim Jerman yang merasa berkeberatan mengajukan hal ini ke Bundesverfassungsgerichts karena dinilai bertentangan dengan kebebasan menjalankan agama. Sebab, ajaran Islam justru mewajibkan hewan disembelih terlebih dulu sebelum halal dimakan. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman mengabulkan tuntutan itu dengan alasan kebebasan beragama adalah sebuah soal yang diatur dalam konstitusi, sedangkan larangan penyembelihan hewan hanya berada pada wilayah ketentuan di bawah Undang-Undang Dasar.

Penulis berpendapat bahwa kebutuhan akan constitutional complaint sangatlah penting mengingat adanya sejumlah kebijakan dan peraturan pemerintah  yang tidak mempunyai saluran hukum apabila hendak diuji. Constitutional complaint akan menjadikan masyarakat berperan aktif dalam pengawasan  kebijakan yang sudah dilakukan oleh negara.

Melihat pada hal tersebut penulis tertarik untuk membuat karya ilmiah dengan judul  “Constitutional Complaint Sebagai Upaya Perlindungan Hak Konstitusi Warga Negara Melalui Mahkamah Konstitusi.”

 

  1. Rumusan Masalah
  • Perbandingan Constitutional Complaint antara Jerman dengan Indonesia.
  • Penerapan Constitutional Complaint di Indonesia serta pelimpahan kewenangannya kepada Mahkamah Konstitusi.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Sejarah constitutional complaint ditemukan di Lembaga Judicial Review American dan menjadi bagian dari konstitusi United State of America sejak munculnya kasus  Marbury V. Madison atau yang terkenal di dengan sebutan landmark decision pada tahun 1801-1803. Kasus ini merupakan cermin dari terlahirnya banyak teori politik dan hukum, berdasarkan amar putusan yang diberikan oleh supreme court Amerika Serikat adalah menolak permohonan Marbury yang petitumnya sudah sesuai undang–undang sebab bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Walaupun dalam kasus tersebut hakim menolak permohonan Marbury akan tetapi pengujian judicial review menjadi semakin nyata bahwa undang–undang yang seharusnya tidak boleh diubah apabila bertentangan dengan konstitusi negara tetap dapat diubah ( Jimly Asshiddiqie, 2005: 33 ).

Judicial review yang terjadi di Amerika Serikat tersebut menjadikan banyak negara  mempelajari dan mempraktikan sistem hukum tersebut sebagai salah satu perkembangan supreme of justice ke arah yang lebih baik untuk mengkokohkan konstitusi suatu negara tanpa merugikan hak siapapun. Dengan semakin berkembangnya judicial review dibanyak negara, maka tercetuslah constitutional complaint oleh Negara Jerman. Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts) adalah mahkamah konstitusi pertama yang menerapkan dan mengembangkan kewenangan constitutional complaint.

Kewenangan constitutional complaint Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts)  didasari pada Pasal 93 ayat (1) butir 42 Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland yaitu :

“A constitutional complaint may relate to any act by a public authority violating a basic right: a law, a directive of an administrative agency, or a court decision. However, the requirement for lodging such a complaint with the Federal Constitutional Court is that there is no other means of eliminating the violation of a basic right. In principle all remedies within the relevant branch of jurisdiction (e.g. civil, criminal or administrative) must therefore first be exhausted before having recourse to the Federal Constitutional Court.”

Menurut Jutta Limbach, kewenangan terpenting yang saat ini dimilki oleh Bundesverfassungsgerichts, dimana hingga saat ini lebih dari 146.539 permohonan telah diperiksa oleh Bundesverfassungsgerichts dan 141.023 diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional complaint.

Sejatinya penerapan constitutional complaint di Jerman tersebut banyak memberikan manfaat bagi eksistensi konstitusi negara, menjamin kebebasan hak setiap individu yang merasa dirugikan oleh peraturan pemerintah, dan menciptakan civil society pada masyarakat suatu negara. Masyarakat Indonesia seharusnya mempunyai hak constitutional complaint sebagai akomodasi setiap individu mengadukan dan mendapat penyelesaian dari permasalahan yang diakibatkan oleh suatu keputusan dan peraturan pemerintah yang merugikan, merujuk pada konsep negara kita yang memang negara hukum.

Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebenarnya sudah tertulis jelas dalam Pasal 24C UUD 1945 Amandemen IV, sebagai dasar dari terlahirnya contitutional complaint di Indonesia. Akan tetapi aturan pelakasanaan constitutional complaint di negara kita mengalami keambiguan dari dasar constitutinal complaint sendiri, terlihat secara nyata yang mana tidak ada satu pasal dan satu ayat pun yang menjelaskan mengenai contitutional complaint. Hal tersebut merupakan suatu kelemahan bagi terlahirnya constitutional complaint di Indonesia karena jika dibandingkan dengan negara–negara lain, mereka mempunyai law legal contitutional complaint dalam aturan konstitusi negara sebagai dasar aturan pelaksanaan  sehingga penyelesaian setiap perkara konstitusi memiliki kepastian hukum.

Indonesia merupakan negara hukum dan supremasi konstitusional yang mana hak asasi manusia serta sistem peradilan yang independen adalah mutlak adanya. Dengan terlahirnya Mahkamah Konstitusi atas amandemen ke IV Undang–Undang Dasar 1945 serta Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi, maka upaya penegakan konstitusi negara kita mengalami kemajuan yang sangat baik. Peranan kehakiman pada suatu negara hukum sangatlah penting untuk terciptanya keadilan hukum bagi setiap masyarakat. Salah satu peranan kehakiman yang sangat penting di Indonesia berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Sehingga tidak ada salahnya apabila Mahkamah Konstitusi kita diberikan kewenangan untuk melakukan constitutional complaint.

Dilihat dari realitas praktik pengujian Undang-Undang yang pernah dilakukan,  terdapat alasan yang cukup kuat untuk menerapkan constitusional complaint. Meskipun penerapan tersebut hanya sebuah perluasan atau penambahan kewenangan. Realita yang  didasarkan pada data empiris yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, mayoritas mempermasalahkan mengenai perlakuan aparat pemerintah yang dipandang sebagai instrumen pengaduan konstitusional, padahal persoalan  tersebut tidak termasuk dalam ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus constitusional complaint.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, apabila merujuk pada pendapat I Dewa Gede Palguna ada dua hal yang perlu dicermati dalam mengadopsi mekanisme constitutional complaint Pertama adalah permohonan itu sendiri dikonstruksikan sebagai permohonan pengujian undang-undang meskipun substansi permohonan itu sesungguhnya adalah constitutional complaint. Artinya, sama sekali tidak menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah ditentukan secara limitatif oleh UUD 1945. Kedua, kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh kekeliruan penafsiran dan penerapan undang-undang hanya dapat dilakukan oleh pihak yang secara faktual telah menderita. (I Dewa Gede Palguna, 2009 : 16-19).

Salah satu contoh kasus yang mengakibatkan constitutional complaint sangat diperlukan adalah kasus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dianggap ajaran yang menyimpang kemudian banyak kalangan yang mengadu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibubarkan, dengan dikeluarkanya Surat Keputusan Bersama Menteri Agama (SKB) tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Ada yang Pro dan Kontra terhadap dikeluarkannya SKB tersebut. JAI berargumen bahwa warga negara memiliki kebebasan untuk beragama seperti dalam Pasal 28E ayat 1 UUD 1945 adalah hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. JAI ingin mengajukan constitutional complaint tetapi tidak bisa diajukan ke MK karena kewenangan hanya memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dalam hal sesuai dalam Pasal 24C UUD 1945 sedangkan kewenangan constitutional complaint belum dimiliki oleh Makhamah Konstitusi.

Pada dasarnya, permohonan pengujian undang-undang oleh perorangan yang merasa dirugikan, secara implisit terdapat dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Namun kewenangan Mahkamah Konstitusi  yang terbatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 terasa belum cukup, sebab masih banyak keputusan penguasa (public authorities) termasuk peraturan pelaksana undang-undang, kebijakan maupun putusan pengadilan yang semestinya merupakan obyek pengujian di Mahkamah Konstitusi  juga. Hal tersebut dapat berupa keluhan konstitusional (constitutional complaint) di mana setiap orang dapat mengajukan komplain terhadap dugaan atas kerugian hak konstitusional mereka akibat adanya putusan, kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.

Ketika Mahkamah konstitusi memiliki kewenangan dalam menerima constitutional complaint  maka akan mengatasi kekosongan hukum di lingkungan MK. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menerima constitutional complaint merupakan perluasan dan pengembangan dari kewenangan Mahkamah Konstitusi. Perluasan dan pengembangan kewenangan MK bisa memalui amandemen UUD 1945 sebagai dasar pedoman kewenangan MK, namun apabila tidak memungkinkan melakukan amandemen UUD 1945 dapat dibentuk undang-undang tentang MK khususnya kewenangan yang  didalamnya termasuk menerima constitutional complaint. Dalam ketentuannya juga harus adanya kejelasan tentang jenis atau kategori constitutional complaint yang dapat di ajukan ke MK supaya tidak terjadi kerancuan antara lembaga peradilan lainya.

Berbeda dengan praktik yang selama ini berlangsung di Mahkamah Konstitusi, di mana bukan hanya pihak yang secara faktual telah dirugikan hak konstitusionalnya tetapi pihak lain (menurut penalaran yang wajar) potensial menderita kerugian konstitusional oleh berlakunya suatu undang-undang pun telah dianggap cukup memenuhi syarat untuk bisa diterima  legal standing-nya sebagai pemohon. Dalam mekanisme constitutional complaint yang diusulkan ini, kerugian faktual merupakan keharusan untuk memenuhi syarat  legal standing yaitu keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan  permohonan penyelesaian perselisihan, atau sengketa, atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi. ( Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010: 44 ).

Selain dari pelimpahan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi, peraturan pelaksana constitutional complaint juga harus dibuat agar perlindungan masyarakat untuk melakukan constitutional complaint lebih terjamin. Peraturan tersebut juga dapat menjadi dasar hukum terhadap Mahkamah Konstitusi untuk memproses dan memutuskan suatu perkara. Kemudian sebagai dasar kepastian suatu permasalahan maka permohonan yang dapat diajukan hanyalah hal yang berkaitan dengan aturan pemerintah dan perundang-undangan terhadap konstitusi. Hal tersebut dilakukan untuk membatasi terjadinya constitutional complaint diluar dari pada kewenangan peradilan Mahkamah Konstitusi.

Putusan yang diberikan oleh hakim Mahkamah Konstitusi merupakan suatu perlindungan hukum yang sah berlaku saat itu juga, selama menunggu diubahnya aturan pemerintah atau perundang-undangan yang inkonstitutional.  Putusan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstutisi juga harus berlaku bagi seluruh pihak yang terkait dengan aturan pemerintah atau perundang-undangan tersebut. Dengan berlakunya keputusan tersebut bagi seluruh pihak maka diharapkan constitutional complaint untuk permasalahan yang sama tidak akan diajukan lagi.

Dengan adanya hak constitutional complaint, maka masyarakat yang dirugikan peraturan perundang-undangan dapat mencari keadilan. Masyarakat tidak hanya akan menjadi pihak yang pasif melainkan juga menjadi pihak yang aktif dalam mengawasi berjalannya suatu perundang-undangan maupun aturan pemerintah.

BAB III

PENUTUP

 

  1. Simpulan

Dalam penerapan constitutional complaint, Jerman memiliki aturan hukum yang lebih komprehensif. Lembaga yang diberi kewenangan contitutional complaint pun sudah jelas yaitu  Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgerichts). Sehingga hak setiap warganya untuk mengajukan permohonan pengujian perundang-undangan yang merugikan sangatlah dilindungi. Jika dibandingkan dengan Negara Indonesia, negara kita belum mempunyai aturan yang jelas dalam pelaksanaan constitutional complaint walaupun secara implisit sudah tercantun di dalam UUD 1945 Pasal 24C dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 51. Kewenangan suatu lembaga yang berhak menangani constitutional complaint pun belum ada sehingga pelaksanaannya tidak akan terwujud.

Penerapan constitutional complaint secara normatif sangatlah penting, mengingat konsep negara kita adalah Negara Hukum, dimana hak setiap warga negara harus dilindungi oleh undang-undang.  Selain itu kewenangan constitutional complaint kepada Mahkamah Konstitusi juga sangat diperlukan mengingat MK adalah lembaga perdilan tertinggi yang menangani permasalahan konstitusi. Dengan adanya kewenangan kepada MK maka kepastian hukum constitutional complaint dapat dicapai. Dalam hal ini putusan yang diberikan oleh MK berlaku bagi setiap pihak yang berkaitan dengan perundang-undangan atau aturan pemerintah tersebut. Sehingga tidak ada permasalahan yang dapat diajukan dua kali.

  1. Saran

Untuk dapat mewujudkan constitutional complaint yang lebih komprehensif di Indonesia, selain membuat aturan pelaksanaannya secara normatif dan spesifik. Dukungan dari lembaga lain khususnya lembaga legislatif sangatlah penting agar constitutional complaint yang dicita-citakan dapat terlaksana.

Daftar Pustaka

 

Buku-buku

 

Abdul Mukhtie Fajar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Citra Media

Adnan Buyung Nasution, 1992, The Aspiration for Constitusional Goverment: A Socio-legal Study of the Indonesian Konstituante, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfi, 2010,Constitutional Question (Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya), Jakarta, Jurnal Konstitusi

Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Jimly Asshiddiqie, 2006, Model-model Pengujian Konstitutional di beberapa Negara, Jakarta, Sekretariat Jenderal MKRI

 

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentanng Mahkamah Konstitusi

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

Grundgesetz Bundersrepublik Deutchland

 

Situs Internet

http://nasional.newa.viva.co.id/news/read/629833-mk-ingin-punya-kewenangan-tangani-kontitutional-komplain

www.setneg.go.id/index.php?option=com_perundangan&itemid=42